Ketika pertama kali bertemu dengannya usiaku 16, dia 8 tahun .
fathma |
Selama beberapa bulan dia tinggal di sebelah rumahku. Sebenarnya itu bukan rumah tinggal, tetapi sebuah villa yang memang biasa disewakan kepada orang asing. Itulah mengapa dari bangunan bercat dinding hijau tersebut aku sering mendapatkan teman baru yang kesemuanya adalah manusia-manusia yang berasal dari belahan dunia yang jauh diujung sana . Tempat-tempat yang bahkan membayangkannya saja aku belum pernah.
Biasanya orang asing yang tinggal disana adalah sebuah keluarga. Beberapa kadang memiliki anak yang sebaya denganku. Karena letak rumahku dan bangunan itu bersebelahan dan tidak ada rumah lain disekitarnya, maka mau tidak mau keluargaku akan menjadi tetangga paling dekat dengan para turis tersebut.
Suatu hari .. bangunan kosong itu memiliki penghuni lagi .
Aku tidak tahu persis berapa orang penghuni yang baru datang itu . Mereka tiba saat hari sudah gelap, waktu itu aku belum tidur, masih asyik memandang langit malam . Aku rasa perbedaan waktu Indonesia dengan negara mereka membuat mereka butuh banyak waktu untuk beradaptasi. Beristirahat sejenak satu atau dua hari.
Tepat di hari kelima sejak kedatangan mereka, saat aku sedang memberi makan Cookie dan Creamy, dua ekor hamster jenis winter white yang aku pelihara dalam sebuah aquarium berukuran lumayan besar. Seorang gadis bermata hijau dengan rambut tipis berwarna cokelat muda memandangku dari teras rumah, penasaran dengan apa yang aku lakukan.
Aku menoleh kearah gadis itu, ragu-ragu menghampiri .
"What are you doing ?" gadis itu malu-malu bertanya..
"Just feeding my pets . Hey, you are my new neighbour, right ? Where do you come from ?"
"Afghanistan. My Name is Fathma" Dia memperkenalkan diri sebelum aku meminta,, aku menyebutkan namaku tapi rupanya namaku terlalu sulit dia ucapkan sehingga terdengar lucu dan menggelikan bahkan ditelinganya sendiri.
"Puphot ? Roateh ? What kind of name is it " gadis kecil itu terkekeh, kedua ujung alisnya bertemu di tengah keningnya, tatapan mengolok . Aku dibuat malu dengan namaku sendiri untuk pertama kalinya.
"Forget it. Can you speak Indonesian ? Or Sundaneese maybe ?" Aku mulai ngaco. Ia menggeleng mantap.
"I am school at International School. It used to use English, Afghanistan and Urdu. We haven't learned Indonesian"
Selama beberapa menit kami berbincang-bincang. Aku sebenarnya kacau dalam berbicara bahasa Inggris. Grammar-ku berantakan, tenses apalagi. Jadi saat melakukan percakapan dengan Fathma, aku lebih banyak menjadi pendengar. Sesekali mengeluarkan kata-kata pamungkas. Yes or No .
Sejak saat itu ia sering datang ke rumahku.. Bahkan lebih ekstrem tiba-tiba sudah duduk manis di tempat tidurku, menungguku pulang sekolah. Ia gadis yang manis dan ramah, keluargaku sangat menyukainya. Oh ya, sejak saat itu, kami jadi sering bertukar cerita.
Hingga akhirnya ceritanya sampai pada kisah hidupnya.
Fathma,
Siapa sangka gadis berkulit pucat yang sedang asyik memainkan boneka barbie-ku sambil memamerkan gigi kelinci itu justru sedang mencari suaka ke negara-negara nun jauh di ujung benua.
Gadis itu bercerita, disuatu malam yang lumayan tenang untuk negeri yang sedang dilanda peperangan pada saat itu. Dengan mengejutkan beberapa tentara merangsek masuk ke tempat keluarganya tinggal.
Fathma masih terlalu kecil untuk paham apa yang terjadi.
Jantungnya berdegup keras, kaget karena tiba-tiba terjaga dari mimpi indahnya, yang entah apa.
Ia hanya mendengar kata-kata Taliban dari sang ibu. Mendengar kata itu saja cukup, ia sudah tahu ada yang tidak beres.
Fathma kecil berlari mengamankan Waffa, adiknya yang berusia 5 tahun. Ia membawa adiknya bersembunyi di dalam lemari pakaian .
Ia bercerita,
Afghanistan sedang dilanda peperangan saat itu. Banyak sekali tentara Taliban dan Amerika Serikat berkeliaran diluar rumahnya. Satu-dua bersembunyi dibalik reruntuhan gedung yang hancur karena bom molotov. Meskipun sudah ada larangan mengusik penduduk sipil, tidak sedikit warga yang jadi pelanduk, mati ditengah-tengah.
Ayah Fathma yang merupakan orang penting disana memutuskan untuk bertahan di tanah airnya. Nekat tinggal di tengah carut-marut kota yang sedang bergejolak.
Aku menatap wajah gadis itu. Menyimak dengan seksama kisahnya. Fathma yang melihat ekspresi tegangku semakin asyik bercerita, begitu tenang, santai. Seakan-akan kisah yang ia ceritakan adalah dongeng cinderella yang akan berakhir bahagia.
Fathma kecil mulai mendengar suara-suara gaduh dari luar lemari. Ia berharap ibunya yang terakhir kali ia temui sedang khusyuk membaca ayat suci, baik-baik saja.
Ia mengintip sedikit keluar. DOR. sebuah peluru melesat di kepala sang paman yang sedang bertahan menyembunyikan sang ayah. darah bercucuran dimana-mana. Ia melihat pamannya yang sudah terbaring lemah di seret paksa keluar. Malam itu Fathma menangis.
Waffa yang terus bertanya apa yang terjadi dibungkam mulutnya, takut keberadaannya diketahui. Fathma sendiri ketakutan, tapi ia tahu ia harus tegar menjaga adiknya. Ia memeluk hangat adik perempuannya itu, memandang mata Waffa yang berwarna cokelat muda dan berkata dalam bahasa Arab, "Jangan takut, Allah bersama kita. Kita akan baik-baik saja.."
Malam itu suara meriam memecahkan keheningan. Waffa sudah tertidur pulas ditumpukan selimut dalam lemari. Fathma melangkah perlahan,.. Mencari Ummi dan Abi.
Syukurlah, ayahnya masih hidup. Ia mengangkat tubuh kecil Fathma dan menyuruhnya berkemas. Perjalanan panjang akan dimulai.
Fathma melihat raut kesedihan di wajah ayahnya. Mereka berdua menoleh kearah bercak darah pamannya tadi yang membentuk garis panjang yang menuju keluar pintu. Jasad pamannya sudah ditarik paksa oleh tentara, tapi mereka yakin jiwanya akan ikut serta dalam perjalanan mereka.
Paman sudah berkorban, semoga Allah menempatkan ia di Surga-Nya.
Esok paginya sebelum matahari terbit, Fathma sudah diajak pergi meninggalkan rumahnya. Tujuan mereka adalah ke Australia, negara yang menyediakan perlindungan bagi warga sipil Afghanistan yang menjadi korban konflik. Ayah Fathma hanya akan mengantar sampai tujuan kemudian kembali ke medan peperangan. Maka sebelum mereka meninggalkan bangunan tempat Fathma tumbuh besar itu, mereka mengadakan salam perpisahan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Boleh jadi ini adalah pertemuan terakhir. Keluarga kecil itu saling berpelukan. Saling berjanji mereka akan bertemu di Surga-Nya Allah.
Aku menatap wajah Fathma, tak kuat menahan air mata. Gadis itu masih tegar meneruskan kisahnya. Sesekali tertawa melihat mimik wajahku yang mendadak menyedihkan.
Fathma membuka sleting pakaian di punggungnya, memamerkan sesuatu, siapa sangka gadis yang mudah sekali tertawa itu menunjukan bekas luka besar di bagian lengan belakangnya, terkena reruntuhan gedung.
Aku yakin, luka di hatinya pasti lebih besar lagi.
Sekarang ia menjadi tetanggaku, ia dan keluarganya transit di Indonesia kemudian memilih menetap satu atau dua bulan. Selama itu, ia menjadi temanku. Teman yang tidak akan pernah ku lupakan.
Terakhir kali kami bertemu, aku memberinya kenang-kenangan sebuah kerudung berwarna merah, sebenarnya itu pemberian tanteku. Kemudian ia menukarnya dengan sebuah kartu, ia tidak memberikannya langsung kepadaku saat ia pamit karena aku belum pulang dari sekolah melainkan menitipkannya melalui ibuku.
Ketika aku membuka kartu itu, bagian dalamnya bertuliskan "Don't you ever be afraid. Allah is always beside us".
Aku menangis. Sungguh, gadis itu telah didewasakan kehidupan.