Rabu, 24 April 2013

Dongeng sebelum tidur : RAMAYANA chapter 3


                “Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja, Laksmana.” Rama menghembuskan napas panjang, berdiri menatap langit. Tangannya bersidekap resah, sejak tadi siang terus berpikir.

                “Bagaimana mungkin kau tidak mempercayainya, kakanda ?” Laksmana berseru putus asa. 
“Empat belas tahun Shinta setia menemani di hutan rimba. Empat belas tahun hidup penuh penderitaan demi mengabdi pada suamninya. Ditambah berbulan-bulan ditahan oleh Rahwana, berbulan-bulan menanggung penderitaan di sarang raksasa. Bagaimana mungkin kau tidak mempercayai Shinta ?”

                “Berbulan-bulan.” Rama mendesah, “Karena berbulan-bulan itulah, Laksmana. Siapa yang tahu apa yang telah terjadi di Alengka? Siapa yang bisa memastikannya?”

                “Tidak.” Laksmana menggeleng kencang-kencang, seperti berusaha mengusir kalimat Rama barusan jauh-jauh,” Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari mulutmu, kakanda.”

                Ruangan singgasana hening sejenak.

                Inilah masalah baru pasangan Rama dan Shinta.


Jutaan rakyat Kosala bersorak senang saat Rama membawa pulang Shinta ke ibu kota Ayodya. Kembalinya Rama juga mengakhiri hukuman empat belas tahun terbuang. Tahta Raja Kosala dikembalikan oleh adiknya, Barata. Kabar tumbangnya Rahwana, raja raksasa penyebab semua masalah daratan India membuat rakyat berpesta. Lebih besar lagi pesta itu karena yang mengalahkan Rahwana adalah raja baru mereka, Rama.

                Tapi kesenangan itu hanya sebentar. Entah siapa yang memulai, bisik-bisik kotor merasuki penduduk kerajaan Kosala. Kabar burung menyebar begitu cepat. Di sudut-sudut istana, di pasar-pasar kumuh, di kampung-kampung. Apalagi kalau bukan kabar burung : Shinta sudah tidak suci lagi. Berbulan-bulan ditawan Rahwana, siapa yang bisa memastikan Shinta tetap mampu menjaga diri?

                Rahwana adalah raksasa licik yang sakti, ia bisa menipu siapa saja, bukan ?

                Bisik-bisik kotor itu bagai jelaga hitam ditumpahkan di langit-langit Ayodya, membuat kelam sejauh mata memandang. Hanya tinggal waktu saja, bisik-bisik itu tiba di telinga Rama. Rakyatnya meragukan kesucian Shinta.

                Apakah Shinta tetap suci ?  Berbulan-bulan ia ditahan di taman Asoka yang indah. Di dalam istana kerajaan Alengka. Dijaga belasan raksasa buruk rupa. Apakah Shinta bisa menjaga kehormatan dirinya?

                Keputusan besar itu diambil Rama. Ia memerintahkan agar ujian kesucian digelar untuk Shinta. Melewati api yang berkobar tinggi. Jika Shinta selamat melaluinya, maka tidak akan ada keraguan lagi.

                “Apakah kakanda masih mencintai Shinta ?” Laksmana bertanya lirih. Keputusan telah diambil, tidak banyak yang bisa dilakukannya.

                “Aku mencintai, Laksmana . Bagaimana mungkin kau bertanya hal itu ?”

                Laksmana tertunduk, “Maka kakanda telah melakukan kesalahan besar. Kepercayaan adalah fondasi penting sebuah cinta, kakanda telah kehilangan fondasi itu. Besok lusa, hal ini akan terulang kembali. Besok lusa, tanpa fondasi tersebut, kakanda hanya akan menjadi olok-olok seluruh penduduk Ayodya.”

                Rama terdiam, menelan ludah, menatap adiknya tidak mengerti. Ruangan singgasana lengang.

                “Bukan, sungguh bukan karena ingin mendengarkan penduduk Ayodya ujian kesucian ini dilakukan.” Laksmana masih tertunduk, “Ujian ini dilakukan hanya untuk menutup resah dihati kakanda. Besok, Shinta akan berhasil melewati kobaran api itu, tapi kakanda tidak akan pernah berhasil memadamkan keresahan itu.”

                Laksmana membungkuk, izin pamit, melangkah hilang diantara helaan napas Rama.

***

                Ujian kesucian itu dilakukan di halaman istana, ditonton ribuan penduduk Ayodya.

                Apakah Shinta menolak ujian tersebut ? Merasa ujian itu melecehkan harga dirinya?

                Shinta bahkan tidak terpikirkan hal buruk sedikitpun. Ia tidak merasa suaminya meragukan dirinya. Ujian ini hanya untuk membuktikan kepada rakyat banyak. Jangankan melewati kobaran api suci, diminta Rama melakukan hal yang lebih sulit dibanding itu ia bersedia.

                Pagi itu , ditengah mendung langit kota Ayodya, api berkobar, menjilat-jilat terasa begitu panas bahkan dari jarak belasan meter. Penduduk yang sejak malam buta berduyun-duyun datang hendak menonton, terdiam menatap kobaran api, menunggu prosesi ujian dimulai.

                Shinta melangkah keluar dari istana. Mengenakan pakaian berwarna putih dan selendang putih. Wajahnya terlihat jelita tanpa riasan sedikitpun, rambutnya terurai panjang, dan halaman luas istana seketika diterpa oleh semerbak wangi yang belum pernah dicium banyak orang.

                Resi-resi istana memulai prosesi. Sebuah kidung dinyanyikan. Puja-puji untuk seorang putri yang akan membuktikan diri.

                Dusta takkan bercampur dengan jujur
                Hina takkan bercampur dengan mulia
                Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

                Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
                Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
                Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina

                Habis lagu itu membungkus khidmat, Shinta melangkah mantap menuju kobaran api yang menyala tinggi. Penduduk berseru jerih, beberapa pingsan tidak tahan menonton saat tubuh Shinta ditelan api tersebut. Resi-resi berseru lirih. Rama memejamkan mata, tidak mampu melihat istrinya menuju kobaran api tersebut.

                Laksmana benar. Satu menit berlalu, Shinta melangkah anggun keluar dari kobaran api. Lihatlah, bahkan api tidak kuasa membakar seujung kuku pakaian yang dikenakan Shinta. Penduduk terperangah, sejenak bersorak gembira. Shinta berhasil melewati ujian itu. Gegap gempita memenuhi lapangan istana, Rama menghela napas lega, ikut berseru riang.

                Tetapi cerita jauh dari selesai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar