Senin, 29 April 2013

Dongeng sebelum tidur : RAMAYANA Chapter 4

                 Kalimat lain Laksmana juga benar. Adik Rama yang tidak tahan dengan situasi istana, dan akhirnya memutuskan pergi menjadi pertapa itu selalu bijak menilai sesuatu. Shinta berhasil melalui ujian api suci, tapi itu tidak pernah memadamkan resah di hati orang-orang yang tidak mau percaya.

                Hanya berbilang bulan sejak prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan kering, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja.

                Orang-orang berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong. Mereka ditipu mentah-mentah. Shinta menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, begitu bertimbun kesaktiannya. Apa susahnya sebelum ia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada Shinta untuk mengatasi hal ini.

                Hanya berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta hidup rukun. Saat gelombang kedua kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya, cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana istana Ayodya kembali tegang.

                “Kau tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa wanara, kali ini yang bijak menasehati.

                “Tapi bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan Ratunya ? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua ? Siapa ?”

                Hanoman menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya di Taman Asoka. Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu adalah perempuan terhormat. Ia tidak akan berkhianat walau di pikiran sekalipun. Akulah saksinya.”

                Rama menggeleng.

                “Paduka Rama tidak percaya padaku ?”

                “Aku tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, pamanda.” Rama menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.

                Ruangan singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya. Urusan itu ternyata masih berbuntut panjang.

                Keputusan kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas ia harus diuji dengan apa? Mudah, usir saja ia dari Ayodya.

                “Kau telah kehilangan akal sehat, paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng, ekornya mengibas-ngibas. Sungguh ia ingin mengusir kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan ? Itu..., itu berlebihan.”

                Justru sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama. Entah alasan apa yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai, kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami tercintanya tiba, emrebutnya kembali.

                Shinta diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, dihadapan rakyat banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana, bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana. Lihat, ini sungguh mengharukan.

                Hanoman terduduk dalam, terpekur menatap lantai.

                “Apakah kau masih mencintai Shinta, paduka Rama ?” bertanya pelan.

                “Tentu saja, Pamanda. Tentu saja .” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu melewati masa pembuangannya.”

                Hanoman menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini, Paduka. Esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”

                Hanoman melangjah perlahan meninggalkan istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.

                Bagaimana Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya ? Shinta mengangguk, kali ini ia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati. Matanya berkaca-kaca, tapi ia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan itu. Ia sedikitpun tidak meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena ia tidak kunjung mampu meyakinkan rakyat ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan suami tercinta.

                “Jangan cemaskan aku, kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa pembuangan ini tidak akan lama. Apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, kakanda. Sedikipun jangan terbetik perasaan itu.”

                Senja itu, saat gelap mulai menghampiri ibu kota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya. Tidak ada yang boleh membantunya. Rakyat bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.

                Resi-resi istana membacakan kdiung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga, mengenakan pakaian putih, selendang putih. Semerbak wangi menyergap hidung-hidung. Tidak, Oh ibu, aku tidak akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, waha Dewi Laksmi. Shinta meremas jarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dai suaminya, aku akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.

            Dusta takkan bercampur dengan jujur
            Hina takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu dengan air

Kebaikan takkan bercampur dengan keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah menyatu dengan gadis hina

 Kidung kesedihan resi-resi istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu. Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan mata di kursi singgasana. Sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana, meninggalkan gerbang ibu kota Ayodya. Melangkah pelan menuju barisan rapat pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorangpun sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar