Hanya berbilang bulan sejak
prosesi api suci, bisik-bisik kembali melanda seluruh Ayodya. Kabar burung
berhembus bersama angin musim kemarau. Dan bagai api yang membakar rerumputan
kering, cepat sekali menjalar, menghanguskan apa saja.
Orang-orang
berbisik bahwa prosesi api suci itu bohong. Mereka ditipu mentah-mentah. Shinta
menggunakan ilmu sihir yang diperolehnya dari kerajaan Alengka untuk melewati
api suci. Siapa tidak mengenal Rahwana, begitu bertimbun kesaktiannya. Apa susahnya
sebelum ia berhasil dikalahkan Rama, Rahwana mengajarkan satu-dua trik kepada
Shinta untuk mengatasi hal ini.
Hanya
berbilang bulan pasangan Rama dan Shinta hidup rukun. Saat gelombang kedua
kabar kotor itu melanda seluruh Ayodya, cepat dan merusak sekali akibatnya. Suasana
istana Ayodya kembali tegang.
“Kau
tidak akan melakukannya, Paduka Rama.” Hanoman, manusia kera, bangsa wanara,
kali ini yang bijak menasehati.
“Tapi
bagaimana aku akan menghadapi rakyatku, Pamanda. Dari kota hingga desa, di
setiap sudut, pelosok, mereka berbisik tentang hal itu. Bagaimana aku
meletakkan wajah seorang Raja yang berwibawa jika mereka tidak percaya dengan
Ratunya ? Siapa yang bisa bersaksi Shinta tidak sedang menipu kita semua ?
Siapa ?”
Hanoman
menepuk tiang ruangan singgasana, menatap Rama tidak percaya di Taman Asoka.
Bukankah kau sendiri yang menyuruhku berbulan-bulan mengintai kerajaan Alengka
selama pembuatan jembatan itu, memastikan apakah Shinta baik-baik saja. Istrimu
adalah perempuan terhormat. Ia tidak akan berkhianat walau di pikiran
sekalipun. Akulah saksinya.”
Rama
menggeleng.
“Paduka
Rama tidak percaya padaku ?”
“Aku
tidak bisa lagi percaya pada siapapun dalam situasi ini, pamanda.” Rama
menjawab pelan, tapi cukup sudah mengunci percakapan.
Ruangan
singgasana lengang. Senja merah membungkus langit Ayodya. Urusan itu ternyata
masih berbuntut panjang.
Keputusan
kedua diambil. Dan kali ini lebih mengenaskan dari sekadar melewati api suci. Orang
ramai berbisik, apapun ujiannya, Shinta
yang telah menguasai sihir gelap pasti mampu melewatinya. Lantas ia harus
diuji dengan apa? Mudah, usir saja ia dari Ayodya.
“Kau
telah kehilangan akal sehat, paduka Rama.” Hanoman berseru, kepalanya menggeleng-geleng,
ekornya mengibas-ngibas. Sungguh ia ingin mengusir kalimat yang baru saja ia
dengar dari mulut Rama, “Kau, kau tidak akan melakukannya, bukan ? Itu..., itu
berlebihan.”
Justru
sebaliknya, entah pasal apa yang menggelayut di kepala Rama. Entah alasan apa
yang membuat Rama begitu gelap mata, keputusan Rama sudah bulat. Duhai,
kemanakah cinta mereka selama ini? Empat belas tahun Shinta menemani Rama
terusir dari Ayodya, membuktikan pengabdiannya. Berbulan-bulan Shinta tidak
sekalipun lalai membisikkan nama Rama di penjara taman Asoka, berharap suami
tercintanya tiba, emrebutnya kembali.
Shinta
diusir dari Ayodya. Keputusan itu dibacakan sendiri oleh Rama, dihadapan rakyat
banyak yang gegap gempita menyambutnya. Lihat, Rajanya sungguh bijaksana,
bahkan istrinya sendiri, jika diragukan kesucian, akan terbuang dari istana.
Lihat, ini sungguh mengharukan.
Hanoman
terduduk dalam, terpekur menatap lantai.
“Apakah
kau masih mencintai Shinta, paduka Rama ?” bertanya pelan.
“Tentu
saja, Pamanda. Tentu saja .” Rama menjawab dengan intonasi tersinggung, “Aku
mencintainya. Tapi rakyat Ayodya membutuhkan bukti bahwa Shinta akan mampu
melewati masa pembuangannya.”
Hanoman
menggeleng sedih, “Bukan rakyat Ayodya. Bukan mereka, tapi Padukalah yang
membutuhkan itu semua untuk memadamkan api kecurigaan dalam hati. Camkan ini,
Paduka. Esok lusa, Shinta akan berhasil melalui masa terbuangnya, tapi Paduka
tidak akan pernah mampu melewati resah itu.”
Hanoman
melangjah perlahan meninggalkan istana. Punggungnya hilang dibalik ribuan
rakyat yang mengelu-elukan keputusan rajanya.
Bagaimana
Shinta mendengar perintah pengusiran itu dibacakan sendiri oleh suaminya ?
Shinta mengangguk, kali ini ia memang tidak kuasa menahan kesedihan hati. Matanya
berkaca-kaca, tapi ia mengangguk patuh. Shinta tidak sedih karena keputusan
itu. Ia sedikitpun tidak meragukan cinta Rama. Shinta sedih karena ia tidak
kunjung mampu meyakinkan rakyat ayodya, Shinta sedih harus berpisah dengan
suami tercinta.
“Jangan
cemaskan aku, kakanda.” Shinta berbisik lemah, “Aku akan baik-baik saja. Masa
pembuangan ini tidak akan lama. Apalah arti sepuluh tahun demi membuktikan
cinta kita akan abadi. Jangan cemaskan aku, kakanda. Sedikipun jangan terbetik
perasaan itu.”
Senja
itu, saat gelap mulai menghampiri ibu kota Ayodya, prosesi pengusiran Shinta
dimulai. Tidak ada yang boleh menemaninya. Tidak ada yang boleh membantunya. Rakyat
bersorak sorai memenuhi halaman istana, berduyun-duyun puas ingin menonton.
Resi-resi
istana membacakan kdiung kesedihan. Shinta melangkah menuruni anak tangga,
mengenakan pakaian putih, selendang putih. Semerbak wangi menyergap
hidung-hidung. Tidak, Oh ibu, aku tidak
akan menangis. Anakmu tidak akan menangis, waha Dewi Laksmi. Shinta meremas
jarinya, menatap sekitar yang mendadak terdiam. Hanya sepuluh tahun terusir dari Ayodya, terpisah dai suaminya, aku
akan kuat melewati ujian ini, oh Ibu Dewi Laksmi. Demi cintaku kepada suamiku.
Dusta
takkan bercampur dengan jujur
Hina
takkan bercampur dengan mulia
Oh, minyak takkan pernah menyatu
dengan air
Kebaikan takkan bercampur dengan
keburukan
Kesetiaan takkan bercampur dengan
pengkhianatan
Oh, Dewi Shinta takkan pernah
menyatu dengan gadis hina
Kidung kesedihan resi-resi
istana mengambang di langit-langit halaman. Kaki Shinta menyentuh tanah yang berdebu.
Senja itu, disaksikan ribuan rakyat, disaksikan Rama yang berdiri memejamkan
mata di kursi singgasana. Sendirian Shinta dilepas meninggalkan istana,
meninggalkan gerbang ibu kota Ayodya. Melangkah pelan menuju barisan rapat
pohon-pohon di hutan rimba. Menjalani ujian sepuluh tahun terbuang. Tanpa seorangpun
sempat tahu, bahkan Rama, bahwa Shinta sedang mengandung anak mereka.